Dunia
saat ini belum berkeadilan, tetapi dalam kebersamaan tetap memliki
kesempatan yang baik dalam mengeliminasi kemiskinan, kondisi tak
berperikemanusiaan, dan degradasi lingkungan yang masih jauh dari ideal.
Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 1 mengamanatkan : “
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Oleh karena itu setiap individu melalui perannya
di perusahaan sebaiknya bersedia untuk mengambil tanggung jawabnya tanpa
harus memperdebatkan tanggung jawab tersebut kembali untuk menanggapi
berbagai tantangan global yang dihadapi.
Berbicara
mengenai tanggung jawab, ada hal yang perlu ditanyakan. Apakah
perusahaan mempunyai tanggung jawab dan mengapa sebuah perusahaan harus
memiliki tanggung jawab ?. Dengan jelas sekali bahwa perusahaan tentunya
memiliki tanggung jawab baik secara legal maupun sosial dan perusahaan
memang perlu memiliki tanggung jawab atau dapat disebut juga tanggung
jawab korporat, karena dengan memiliki tanggung jawab, pihak perusahaan
sebenarnya secara tidak langsung melakukan upaya pemenangan kepercayaan
maupun loyalitas dari para stakeholders di tempat perusahaan
tersebut berada. Sebab dengan adanya tanggung jawab perusahaan, maka
perusahaan dapat membentuk kehormatan bagi perusahaan tersebut demi
kepentingan masyarakat, ditunjukkan dengan mengambil rasa memiliki dari
efek aktivitas terhadap stakeholders kunci yang antara lain
terdiri dari karyawan, para pemegang saham, komunitas, konsumen, dan
lingkungan dalam semua bagian dari operasi yang dilakukan.
Mengenai
tangung jawab perusahaan secara legal, pihak perusahaan memiliki
tanggung jawab karena perusahaan atau korporasi, sebuah kata yang
berasal dari bahasa latin ini yakni Corpus atau Corpora secara
harfiah berarti badan hukum. Hakim Agung Amerika, Marshall (1819)
mengatakan : “Suatu korporasi adalah suatu makhluk buatan, tidak
kelihatan, tidak berwujud, dan hanya berada di mata hukum. Karena
semata-mata merupakan
ciptaan hukum, ia hanya memiliki ciri-ciri yang oleh akte pendiriannya
diberikan kepadanya …”. Karena perusahaan sebagai makhluk ciptaan hukum,
maka tanggung jawab perusahaan sebagai badan hukum tentu tidak mungkin
diragukan. Jika perusahaan sebagai badan hukum telah dinyatakan memiliki
tanggung jawab legal lalu bagaimana dengan tanggung jawab sosial yang
dimiliki perusahaan ?. Tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR), yang juga bersinggungan dan bahkan sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti corporate sustainability, corporate accountability, corporate citizenship, dan corporate stewardship merupakan
konsep yang terus mengalami perkembangan. Artinya, CSR masih belum
memiliki sebuah definisi standar maupun seperangkat kriteria spesifik
yang diakui secara penuh oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Walaupun demikian, peraturan mengenai pelaksanaan CSR telah disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74
ayat 1 yang menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang
dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tangung
jawab sosial dan lingkungan.
Komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci, antara lain : (1) Good corporate governance,
yakni berupa etika bisnis, manajemen sumberdaya manusia, jaminan sosial
bagi pegawai, serta kesehatan, dan keselamatan kerja; (2) Good corporate responsibility, yakni berupa pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development),
perlindungan hak asasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan
pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak para pemangku kepentingan
lainnya (stakeholders). Dengan demikian, perilaku atau cara perusahaan memperhatikan dan melibatkan para shareholders maupun stakeholdersnya, seperti : pekerja, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM, masyarakat, serta para stakeholders lainnya merupakan konsep utama dari CSR.
Suatu
perilaku yang ditunjukan sebuah perusahaan dalam memperhatikan dan
melibatkan para pemangku kepentingan, tentunya akan memberikan
keuntungan yang luar biasa bagi pihak perusahaan sebagai pelaku dari
konsep CSR tersebut. Adapun keuntungan yang diperoleh tidak hanya sekedar keuntungan secara finansial semata, melainkan juga keuntungan berupa kepercayaan (trust) yang diberikan oleh para stakeholders perusahaan, baik stakeholders dalam artian sempit maupun luas kepada perusahaan yang melakukan operasi industri di lingkungan sekitar para stakeholders berada.
Dari
kedua keuntungan yang diperoleh perusahaan, sesungguhnya yang menjadi
modal dasar bagi perusahaan agar dapat terus melakukan aktivitasnya
adalah berupa sebuah kepercayaan. Hal ini dikarenakan dalam sebuah dunia
usaha yang dilakukan sangat membutuhkan kondisi lingkungan lokal yang
mampu memberikan dukungan positif bagi perusahaan yang sedang
beroperasi. Perlunya dukungan positif dari para stakeholders perusahaan
dilatarbelakangi dengan kemampuan ketahanan perusahaan yang pasti tidak
akan dapat bertahan lama apabila di lingkungan tempat perusahaan yang
beroperasional tersebut ambruk atau ‘kurang subur’. Sehingga menjadi
sebuah keharusan dan juga kebutuhan bagi sebuah perusahaan dalam
memperoleh persetujuan tersebut untuk bisa beroperasional secara stabil.
Melihat dari perilaku yang harus dijalankan oleh pihak perusahaan serta
keuntungan yang akan diperoleh oleh perusahaan berupa peningkatan
produktivitas kerja, dapat digambarkan dengan model kerjasama antara
perusahaan dengan para stakeholdersnya.
Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya, John Elkington (1997) dalam bukunya yang berjudul Cannibals with Forks, The Tripple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness yang kemudian disahkan World Summit on Sustainable Development (WSSD)
di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002 memberikan terobosan besar
mengenai konsep CSR. Dalam konsepnya, Elkington menjelaskan bahwa bagi
setiap perusahaan yang menjalankan usahanya, hendaknya memperhatikan 3P,
yaitu : (1) profit, (2) people, dan (3) plannet. Artinya, Perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak diperkenankan hanya mengejar keuntungan semata (profit), tetapi mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Ketiga prinsip tersebut saling mendukung dalam pelaksanaan CSR. Mengacu
pada kedua penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan
tidak hanya memiliki tanggung jawab dalam aspek hukum, tapi juga
memiliki tanggung jawab secara sosial. Melihat perlunya tanggung jawab
sosial yang dilakukan perusahaan, ternyata juga disetujui oleh hampir
semua penulis buku mengenai etika bisnis maupun para pelaku bisnis itu
sendiri. Namun sayangnya, masih ada saja pendekatan yang dilakukan
sangat berbeda dengan konsep CSR itu sendiri. Seperti yang disampaikan
oleh seorang ekonom besar dari Amerika Serikat, Milton Friedman,
profesor emeritus dari Universitas Chicago sekaligus pemenang hadiah
Nobel, dalam bukunya yang berjudul The Social Responsibility of Business To Increase Its Profits.
Adapun dalam penulisannya, Friedman menjelaskan bahwa satu-satunya
tanggung jawab sosial perusahaan adalah meningkatkan keuntungan sampai
menjadi sebesar mungkin. Pandangan Friedman mengenai tanggung jawab
sosial perusahaan tidaklah sepenuhnya salah, sebab walau bagaimanapun
juga bila seseorang berkecimpung di dalam dunia bisnis tentunya
mengharapkan keuntungan (profit). Akan tetapi, tidak dijadikan
sebagai prioritas utama. Karena ada hal yang perlu ditekankan bahwa
tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya sebatas pada apa yang
diperintahkan hukum, apa lagi pada kepentingan perusahaan. Karena
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para stakeholders yang dimaksud tidak terikat dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain manfaat yang diperoleh stakeholders atas
perusahaan masih tetap dirasakan, walaupun perusahaan tersebut tidak
lagi beroperasi di wilayah itu. Karena dengan dilaksanakannya tanggung
jawab sosial, maka diharapkan antara pihak perusahaan dan juga stakeholders perusahaan dapat saling memberi kesempatan untuk sama-sama maju dan berkembang.
Dalam
hal ini, realisasi dari tanggung jawab sosial yang dijalankan oleh
perusahaan adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat (community development).
Adanya program pengembangan masyarakat yang dilakukan adalah sebagai
kerangka dalam mempersiapkan diri bagi masyarakat yang berada di sekitar
tempat beroperasionalnya perusahaan, apabila suatu waktu perusahaan
sudah selesai dalam beroperasional. Sehingga masyarakat akan tetap mampu
melanjutkan roda kehidupan sosial ekonominya berdasarkan pada sumber
daya lokalnya. Harapan tersebut akan dapat dicapai melalui
program-program yang sifatnya juga memberdayakan, seperti pembinaan
kewirausahaan, akses modal melalui lembaga keuangan mikro, pelatihan
kejuruan, pendampingan pertanian atau perikanan atau perkebunan, dan
sebagainya dengan mengandalkan tiga karakter utama pengembangan
masyarakat, yaitu berbasis masyarakat (community based), berbasis sumber daya setempat (local resource based), dan berkelanjutan (sustainable).
Menyikapi dari kesalahpemahaman yang dilakukan oleh Friedman atau bisa
jadi juga dilakukan oleh perusahaan. Maka, diperlukan sebuah aturan
untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan.
International Organization for Standarization (ISO)
adalah sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1947 dan
berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sebagai sebuah organisasi, ISO selaku
jaringan global badan standar diposisikan secara unik untuk mempengaruhi
perubahan melalui kiprah dan keberadaannya di tingkat internasional.
Peranan ISO pada awalnya adalah untuk mempromosikan standar produk,
jasa, proses, bahan, dan sistem. Kemudian peranannya meningkat dengan
melakukan pengembangan standar yang berfungsi sebagai perangkat
manajemen. Selanjutnya, saat ini peranannya ditingkatkan lagi dengan
melakukan pengembangan standar yang memperhatikan aspek kemanusiaan.
Pengembangan standar ISO sangat menaruh perhatian besar dan berupaya untuk mencetuskan kegiatan awal pengembangan social responsibility berbasis kesatuan tekad dimana para pemangku kepentingan social reponsibility
dapat dengan bebas berkontribusi. Dengan adanya kebebasan berkontribusi
yang diberikan, maka bagi setiap perusahaan yang ingin meningkatkan
tanggung jawab moralnya harus secara berkala meningkatkan peranan dan
proses tanggung jawab moralnya kepada masyarakat. Akan tetapi, untuk
bisa berkontribusi dalam meningkatkan tanggung jawab sosial, sebenarnya
tidak hanya dari pihak perusahaan saja, melainkan seluruh elemen
masyarakat juga dapat berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Namun,
ada hal yang perlu untuk diperhatikan, bahwa untuk bisa berkontribusi
dalam pembangunan berkelanjutan diperlukan adanya instrument untuk
mengarahkan para praktisi dalam memantapkan dan mengoperasionalkan
sasaran dari pembangunan berkelanjutan. Adapun realisasi pembangunan
berkelanjutan menurut Ketua Working Group Social Responsibility yang ditunjuk oleh Brazilian Standard Institute (ABNT), Jorge Cajazeira merupakan suatu kemungkinan, artinya tidak ada yang tidak bisa diraih.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggung jawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa social responsibility adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu perusahaan. Adapun pemahaman umum mengenai penilaian social responsibility itu dianggap sangat penting tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit on The Environment (1992) dan World Summit on Sustainable Development atau WSSD (2002) yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pada
bulan April 2001, ISO Council menugaskan COPOLCO (Komite ISO untuk
Kebijakan Konsumen) untuk memberikan pertimbangan atas kelayakan
pembentukan standar internasional ISO untuk bidang Corporate Social Responsibility. COPOLCO memutuskan untuk melakukan penilaian kelayakan tersebut pada bulan Mei 2001.
Pada
bulan Juni 2002, COPOLCO menyimpulkan bahwa dari sudut pandang
konsumen, ISO telah memposisikan dirinya dengan tepat untuk memimpin
pengembangan standar internasional social responsibility. Konsekuensi dari hasil kajian tersebut adalah COPOLCO menyampaikan rekomendasi kepada ISO Council agar ISO membentuk tim pengarah yang melibatkan seluruh stakeholder kunci untuk melakukan kajian terhadap isu social responsibility lebih lanjut.
Pada awal tahun 2003, ISO membentuk tim penasehat strategi (Strategic Advisory Group - SAG) untuk tanggung jawab moral yang bertugas membantu memutuskan apakah keterlibatan ISO dalam bidang social responsibility akan memberikan nilai tambah terhadap inisiasi dan program social responsibility. Tim terdiri atas wakil dari seluruh dunia dan dari cakupan bidang minat yang luas dari para stakeholders,
termasuk kalangan bisnis, pemerintah, buruh, konsumen, dan lembaga
swadaya masyarakat. Setelah melalui diskusi dan telaah selama 18 bulan,
tim penasehat kemudian menyiapkan laporan komprensif yang mencakup
pandangan terhadap inisiasi social responsibility secara luas
dan identifikasi permasalahan yang perlu diperhatikan oleh ISO. Kemudian
menyimpulkan bahwa ISO harus tetap meneruskan kegiatan pengembangan social responsibility selaras dengan rekomendasi yang diberikan.
Pada tanggal 21-22 Juni 2004, SAG menyelenggarakan konferensi internasional ISO untuk tanggung jawab moral di Swedia dengan Swedish Standard Institute (SIS)
sebagai penyelenggara, dengan tujuan untuk memperoleh masukan secara
internasional guna memberikan kontribusi atas keputusan ISO dalam proses
standarisasi social responsibility. Dalam konferensi tersebut dihadiri oleh 355 partisipan dari 66 negara yang mewakili kelompok stakeholders. Isu yang diketengahkan sangat sesuai dengan identifikasi permasalahan yang dilaporkan oleh SAG.
Selanjutnya untuk ISO Technical Management Board (TMB),
Berdasarkan rekomendasi dan laporan SAG serta hasil konferensi, maka
TMB mengusulkan pembentukan kelompok kerja untuk mempersiapkan Standar
Internasional yang berupa pedoman untuk tanggung jawab sosial. TMB
selanjutnya menunjuk badan standar nasional Brasil (ABNT) dan
Swedia (SIS) sebagai ketua kelompok kerja secara kolektif. Penunjukan
ketua kelompok kerja secara kolektif merupakan sistem kembaran (twinning)
baru antara negara berkembang serta negara maju yang keduanya adalah
anggota ISO yang merupakan tata kerja yang diperkenalkan oleh TMB untuk
memperkuat partisipasi negara berkembang yang keanggotaannya sudah
mencapai 110 dari total keanggotaan sejumlah 156 negara anggota. Januari
2005, 37 anggota ISO memberikan hak suara terhadap New Work Item Proposal (proposal untuk mengembangkan standar baru) untuk social responsibility. New Work Item Proposal
(NWIP) merupakan dokumen dasar yang memberikan kunci arahan dalam
pengembangan standar baru. Sejumlah 32 negara menyatakan keinginannya
untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan standar social responsibility.
Dalam New York Item – Guidance on Social Responsibility terdapat
cakupan standar yang terdiri dari : (1) Memberikan pedoman bagi
perusahaan dalam mengarahkan tanggung jawab sosialnya; (2) Menyediakan
pedoman praktis yang berkaitan dengan pengoperasian tanggung jawab
sosial, identifikasi dan pelibatan stakeholders, serta peningkatan kredibilitas laporan dan klaim mengenai social responsibility;
(3) Penekanan terhadap hasil kinerja; (4) Meningkatkan kepercayaan dan
kepuasan pelanggan; (5) Konsisten dan tidak menimbulkan konflik dengan
dokumen terkait yang sudah ada, perjanjian internasional, konvensi serta
standar ISO yang sudah ada.
Terdapat empat
peran utama yang harus dijalankan oleh seorang CDO, yakni (1) Peran
Fasilitatif, (2) Peran Edukatif, (3) Peran Representatif, dan (4) Peran
Teknis. Masing-masing peran tersebut terintegrasi antara peran yang satu
dengan yang lainnya, sehingga tidak diperkenankan bagi setiap CDO untuk
memilah peran-peran tersebut dan berikut uraiannya :
1.2.1 Peran Fasilitatif (Facilitative Roles)
Peran-peran
yang digolongkan ke dalam kelompok ini adalah yang berkaitan dengan
menstimulasi dan mendukung pengembangan komunitas dan berbagai proses
yang secara efektif menjadi katalis bagi kegiatan nyata dan membantu
menjalankan proses. Kelompok peran ini terdiri dari : (1) Animasi sosial, (2) Mediasi dan negosiasi, (3) Mendukung (supportive), (4) Membangun konsensus, (5) Memfasilitasi kelompok, (6) Mendayagunakan keterampilan dan sumberdaya, serta (7) Pengorganisasian.
1.2.2 Peran-Peran Kependidikan (Educational Roles)
Peran kependidikan menuntut para CDO untuk lebih aktif. Tidak sekedar pendorong dan pemberi stimulasi. Tetapi juga dituntut untuk memberi masukan yang positif dan direktif (secara langsung). Peran ini tentu saja harus dilakukan dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman yang dimiliki oleh CDO. Peran kependidikan tersebut terdiri dari : (1) Peran meningkatkan kesadaran (consiousness raising), (2) Peran penyediaan informasi (information), (3) Peran menentang atau mempertentangkan (confronting), dan (4) Peran kepelatihan atau melatih.
1.2.3 Peran-Peran Perwakilan (Representational Roles)
Selain cukup banyak waktu yang harus dialokasikan oleh para CDO
untuk berinteraksi dengan komunitasnya, mereka juga dituntut
berinteraksi dengan sistem yang lebih luas. Hal ini penting karena pada
dasarnya pekerjaan pengembangan komunitas bukanlah suatu fenomena
tertutup.
Perwakilan adalah peran yang dilakukan CDO dalam berinteraksi dengan pihak luar, untuk dan atas nama individu, kelompok atau komunitas secara keseluruhan. Peran ini harus dilakukan dengan jujur dalam takaran yang tepat. Kejujuran diperlukan agar tidak sekali-kali mengatasnamakan komunitas (fait accomplie) untuk kepentingan sendiri. Takaran yang tepat diperlukan agar tidak membuat komunitas menjadi ketergantungan kepada ‘wakilnya’. Sebab perwakilan yang berlebihan tidak akan mendukung tercapainya ke-swadaya-an.
Adapun kelompok peran ini terdiri dari beberapa peran antara lain : (1) Mencari dan menyediakan sumberdaya (resourcing), (2) Pembelaan (advocacy), (3) Menggunakan media (using media), (4) Hubungan masyarakat (public relation), (5) Mengembangkan jaringan kerja (networking), dan (6) Mempertukarkan pengetahuan dan pengalaman (sharing knowledge and experience).
1.2.4 Peran-Peran Teknis
Sebagian besar pekerjaan CDO
tidaklah dilakukan dengan menggunakan keahlian yang dapat dikategorikan
sebagai ‘keahlian teknis’ jika seseorang memahami istilah ‘teknis’ itu
sebagai penerapan keterampilan khusus atau spesifik dengan pendekatan petunjuk teknis (cook book). Meskipun begitu, selalu ada kebutuhan penggunaan keterampilan teknis sebagai alat pembantu proses. Keterampilan teknis itu misalnya : (1) Pengumpulan dan analisis data (data collection and analysis), (2) Penggunaan komputer dan alat kantor lainnya (using computer and other office equipments), (3) Presentasi oral maupun tertulis (oral and writen presentation), (4) Manajemen (management), dan (5) Pengawasan atau pengendalian finansial (financial control).
Bukan keharusan bagi pekerja CDO mampu melakukan keseluruhan peran teknis yang telah disebutkan. Jika tidak dilakukan oleh seseorang yang mampu memainkan peran keterampilan teknis itu dari komunitas sendiri. Umumnya para CDO mengembangkan sendiri keterampilan teknis sesuai dengan yang dibutuhkannya. Ini dapat ditempuh melalui pelajaran yang diperoleh dalam pelatihan atau dari pengalamannya sendiri selama melaksanakan tugasnya.
Hal lain yang juga perlu diingat dan kemudian dilakukan oleh CDO adalah
ia harus mampu melakukan kajian kebutuhan dan mengevaluasi.